Berbicara metropolitan, kemegahan serta keramaiannya jangan lagi ditanya, semua mengamini keserbalebihannya dari apa yang dijanjikan kehidupan pedesaan. Sarana transportasi dan informasi yang tiada batas dan jeda, hingga siang dan malam tiada lagi bisa dibedakan oleh sebab keduanya। Namun dibalik keramaiannya, seringkali aku merasa hidup sendiri, kehidupan ini sepertinya sepi di tengah keramaian, terasing di tengah lalu lalangnya para mahluk manusia dari satu tempat menuju keramaian serta pusat perbelanjaan, dari satu tempat menuju tempat hiburan serta dunia malam.
Seperti malam ini, tatkala aku mengakhiri perjalanan dari Kwitang. Iya!!!di sepanjang jalan menuju Perbatasan Lebak Bulus tempat aku ngecamp di Jakarta. Keadaan semakin mencekam yang di sebabkan perasaan dan pikiran capek berlebihan setelah seharian hunting buku termurah belum ditambah dengan kemacetan dan lalu lintas yang sering memberhentikan perjalanan tepat pada waktunya। Rasanya pusing sekali, ditambah bau semprotan kopaja dan bajaj, rasanya mabuk tidak ketolong.
Alunan musik anak negeri yang dibawakan oleh para pengamen jalanan yang semestinya mampu menyentuh dan merayu kelelahan dan membuai imajinasi menuju suatu tempat yang indah sekali, namun karena pikiran ini sudah tidak lagi mampu merekam dan perasaan rasanya dangkal tiada lagi merasa, semuanya menjadi suara yang sirna dan berlalu begitu saja। Dan dengan tidaak sadarkan diri tiba-tiba ada kotak berjalan yang memberi satu tanda demi menarik simpati.
Keberadaan para pengemis dan pengamen jalananpun tetap menjadi elemen yang wajib bagi sarana transportasi metropolitan kecuali taksi dan busway. Pengamen jalanan bahkan sering diidentikkan oleh masyarakat sebagai "Konser Musik Gratis". Dengan silih bergantinya pengamen, datang dan pergi kadang juga malas untuk mengeluarkan koin। Kalau semuanya diberi, rasanya tidak cukup duit seratus ribu. Namun berhadapan dengan keringat mereka yang menetes deras pertanda kelelahan serta kepayahan, hati ini rasanya tidak kuasa menahan ego dan kebakhilan manusia.
“Tuhan!! Bukan bermaksud mengindahkan keberadaan pengamen jalanan atau membiasakan mereka terdidik mendapatkan sesuap nasi dengan cara yang menurut kaca mata tertentu tidak benar, mungkin agamaku sendiri. Namun bagiku ini lebih indah dari pada mereka harus menjadi maling, perampok dan pemaksaan hak milik lainnya. Salahkah aku Tuhan! Bukankah mereka telah berjuang memperjuangkan hidupnya di tengah pergulatan metropolitan dengan caranya. Tuhan salahkan aku!”
Di dalam Mayasari Bakti bersama kedua teman, aku tersudut ketakutan. Kupandangi kaca dan aku singkap apa yang ada di sekitar perjalanan guna mengurangi rasa lelah dan penat। Ramai sekali ya! melihat keramaian aku memaksa supaya tetap kuat dan jangan sampai tertidur, karena kedua temanku telah tidur lelap, kedua pipinya pekat dan syarat dengan kepayahan.
OOO..ramai sekali! tapi mengapa keramaian itu tidak mampu membunuh perasaan selalu merasa sendiri. Bagaimana tidak! aku selalu merasa sendiri dalam keramaian, aku seperti terasing dan tidak berdaya di mata mereka। Ada banyak orang, namun apa yang aku lihat telah disibukkan dengan kepentingannya masing-masing. Seperti duduk berhadapan, namun tatapannya kosong entah kemana arah tiada mengerti. Para pedagang sibuk mempromosikan dagangannya, pegawai kantoran sibuk menunggu di pemberhentiaan dan berjejal di terminal Busway, dan sopir sibuk berebut dan mencari celah untuk mempercepat perjalanan dan aku sendiri sibuk dengan ketakutanku. Betapa manusia sibuk dengan kehidupannya masing-masing.
Aku takut sekali, batinku tersayat dan semakin merinding menyaksikan seisi Mayasari Bakti yang sepi dari penumpang, mulai kami menginjakkan kaki di depan bioskop Megaria sampai Blok M keadaan masih sama dan tetap sepi. Menatap ke depan hanya ada sopir dan satu kondektur, aku dan kedua teman hanya dikelilingi tidak lebih dari lima penumpang yang kesemuanya lelaki. Aku takut sekali, ketakutan itu besar disebabkan karena posisiku sebagai perawan yang berada di tengah malam metropolitan dan keadaannya sepi. “Oh Tuhan!!pada-Mu aku memohon pertolongan”. Setelah melabuhkan kepercayaan pada-Nya seperti ketenangan meliputi jiwa ini।
Baru juga pengamen keluar, nampak dari luar pengamen yang lain sudah menunggu antrian berjejer di depan Mall “Blok M” dengan wajah yang sangar dan angker, tubuhnya dipenuhi tato dan atribut yang dikenakannya memunculkan tatapan-tatapan yang mencoba menghapus kecemasan hidup dengan caranya, mengatasi kesulitan hidup di metropolitan dengan cara yang mampu membuat diri melupakan sejenak keruwetan hidup।
Para pedagang asonganpun rasanya tidak mau kehilangan kesempatan tersebut. Tiada bedanya antara pengamen dan pedagang asongan, yang membedakan hanya kecenderunganku lebih pada pengamen dan tidak segan-segan mengulurkan koin. Aneh, aneh sekali ya! “ucapanku berdialog dengan pikiranku sendiri”. Kenapa aku mesti mengabaikan tawaran dari pedagang asongan dan menyisakan lima ratusan, ribuan untuk pengamen. Itukan sama saja aku mendukung keberadaan pengamen di tengah metropolitan yang kian menjamur. Jadi tidak salah kalau jumlah pengamen tiap hari bertambah, dan pedagang asongan kian menyurutkan niat untuk mengadu nasibnya. “Oh Tuhan kesalahan apa yang telah aku perbuat?”
Koran!!koran!!koran!! sebuah tawaran yang mengaduk-aduk kepedulianku dan menggerakkan tangan untuk mengeluarkan uang Rp 2।000,00 demi menjawab segala kekerutan hati pedagang koran di tengah malam metropolitan. Sebenarnya aku juga tidak butuh-butuh banget, aku membeli bukan karena aku butuh tapi karena aku masih belajar menghargai perjuangan mereka di tengah keterbatasan. Selain itu, meskipun aku tidak membutuhkan koran tersebut, nanti sesampainya di kontrakan mungil akan aku sumbangkan koran tersebut sama pedagang gorengan. Andai aku sebagaimana penjual koran jalanan, aku mungkin tidak setegar mereka yang masih bisa tersenyum dan semangat hidup dalam kondisi yang serba tidak menentu. Dan aku teramat yakin andai mereka punya kesempatan yang lebih layak dan juga pengalaman yang memadai untuk menerobos gedung-gedung megah di metropolitan, aku teramat yakin mereka tidak akan memilih jalan hidup yang begitu memilukan.
Aku tersadar dari lamunan panjang, ketakutanpun akhirnya mampu membangunkan kelelahan dan aku harus bertahan dan jangan sampai memejamkan mata hingga benar-benar merasa nyaman dan tenang। Benar!sesampainya di Blok M keadaan sudah mulai pada titik yang membuatku bisa menikmati perjalanan dengan tenang, karena Mayasari Bakti tidak lagi menyisakan kesepian setelah di padati para penumpang.
Iya!inilah metropolitan, metropolitan dengan segala iming-imingnya yang selalu menarik perhatian warga kampung untuk hijrah meninggalkan kedamaian kampung halaman menuju kota dengan segala cerita yang menggiurkan di balik hedonis, materialis dan logis. Meski sering kali penyakit sosial yang ditimbulkannya di ekspos di berbagai media cetak dan elektronik. Namun semua itu menjadi tiada lagi berarti. Dengan Segala tekad tidak mampu menyurutkan niat untuk tetap melangkahkan kaki dan mengadu nasib di tengah pergulatannya।
Kehidupan di metropolitan teramat keras, semua kegiatan dan niat baik patut dipertanyakan. Persaingan hidup sangat ketat, sehingga tidak jarang menimbulkan penyakit sosial seperti kriminalitas sebagai solusi mengatasi keterbatasan hidup. Dan tidak jarang pula seseorang menjual harga dirinya demi mempertahankan kehidupannya, berbagai modus yang mereka ciptakan dan pelajari untuk menarik simpati sesamanya sepertinya tiada habis, yang satu belum lupa dari ingatan tiba-tiba muncul di hadapan kita ada seseorang pura-pura salah jalan di Metropolitan karena mencari anaknya “Minta sedekahnya Neng!! nenek datang dari jauh, mencari anak nenek, tapi tidak menemukannya. Nenek tersesat neng! minta shodaqohnya neng” sepertinya mereka telah fasih belajar untuk merayu simpati sesamanya।
Ada juga yang menarik simpati sesamanya sebagai komunitas Islam, dengan kotak amal berlabelkan yayasan “Assalamu’alaikum Bapak/Ibu; kami utusan dari yayasan “…। “ dan membawa pesan bahwasanya yayasan kami sedang dalam proses pembangunan dan membutuhkan dana sebesar ”...”. Seperti kita ketahui bahwa bersodoqoh adalah ajaran agama, mohon bantuan seikhlasnya. Semoga Allah membalas segala kedermawanan bapak/ibu di lain tempat dan waktu ”.
Ide serupa rasanya memang tidak pernah habis mengingat keadaan metropolitan yang makin hari persaingan semakin tidak bisa dihindari. Banyak orang yang pada akhirnya tidak lagi mementingkan harga dirinya sebagai manusia, namun yang terpenting bukan kebutuhan akan harga diri ataupun aktualisasi diri, bagi mereka masih ada yang lebih penting yaitu kebutuhan mempertahankan hidup। Yang penting bisa bayar kontrakan perbulannya, bisa makan karena pendidikan bermutu sepertinya hanya membuka peluang bagi mereka para elite.
Inilah metropolitan……!
Sebuah keadaan yang memosisikan penduduknya tidak lagi menjadi pengangguran karena tingginya kebutuhan hidup. Iya!!di metropolitan ini tidak ada pengangguran. Siapa bilang di metropolitan ini banyak sekali pengangguran, preman telah menciptakan lapangan pekerjaan di terminal sebagai copet, maling dan juga perampok. Sehingga hampir tiap subuh kita sering mendengar berita kemalingan, namun mendengar berita serupa warga tidak lagi mengekspresikan turut berduka, dengan mudahnya mereka berkata “itu neng, sudah biasa, kemaren tetangga sebelah sana juga habis kemalingan sepeda motor, yang sana lagi kemalingan laptopnya yang ketinggalan di mobil” “Subhanallah ya!!!inikah negeri yang dikatakan demokrasi selepas runtuhnya rezim orde baru?
Subhanallah!! dan para anak jalanan beserta para orang tua dan berpenyakitan sepertinya telah dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk menengadahkan tangannya di suatu tempat yang dianggapnya nyaman. Ya!bisa di katakan di depan masjid Fathullah, masjid yang letaknya di depan kampus tercinta(UIN Syarif Hidayatullah. Red), sudah menjadi tempat mangkal para pengemis।
Benar-benar metropolitan menyajikan keadaan yang asing, namun tidak lagi aneh dalam pandangan kita karena semuanya terjadi biasa-biasa saja.
Inilah Jakartaku,
Metropolitan tanah kelahiran kita
Yang selalu menakutkan di tengah keramaian
Motivasi tersendiri di tengah keterhimpitan.
Sepanjang Perjalanan Menuju Ciputat



0 komentar:
Posting Komentar