“Renungan atas aksi solidaritas korban Lumpur Lapindo”
Waktu itu tepatnya hari Rabu 25 April 2007, teriakan-teriakan orator membuyarkan konsentrasi kuliahku. Mereka mengelilingi seluruh fakultas yang berada di bawah naungan Universitas lengkap dengan bus metromininya sebagai simbol miniatur kota Jakarta atau bus seribu umat, langsung saja aku tinggalkan separuh waktu kuliah, untuk mengikuti aksi yang di selenggarakan atas kerjasama PMII(Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) cabang Ciputat dengan Badan Eksekutif Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Sesampainya di depan Istana Negara, polisi sudah siap berjejer dari ujung ke ujung, guna mengamankan bila terjadi hal-hal yang mampu merusak citra kepresidenan, lengkap dengan mobil tahanan. Di situlah para orator bergantian menyampaikan aspirasinya, perwakilan dari setiap fakultas sebagai wujud aksi solidaritas korban Lumpur Lapindo Sidoarjo yang ngecamp di Jakarta.
Aku sendiri tidak tahu, apa yang membuat diriku sebegitu nekatnya meninggalkan waktu kuliah, demi aksi yang aku sendiri kurang tahu dampak signifikannya buat masyarakat yang menjadi korban Lumpur Lapindo, dan peran yang aku lakonkan dalam aksi tersebut. Jujur sebenarnya nurani ini menolak dan setengah hati namun aku percaya ada hikmah dibalik ketidakmengertian tersebut, makanya aku terus mengirama, bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya teruntuk Indonesia.
Dengan membawa bendera kebesaran PMII, aku berada di barisan paling depan meski hati ini menangis mendengar teriakan para orator dengan berbagai ide-idenya yang mengatasnamakan agent of social changes, penyalur aspirasi rakyat.
“lihat saja kawan-kawan, saudara kita kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan semua yang dimiliki musnah, sementara SBY-JK enak-enakan duduk di atas kursi jabatan, tanpa empati sedikitpun terhadap korban bencana” begitulah orasinya, dengan rasa bangga atas julukan aktivis kampus dan pahlawan sejati bagi negeri.
Ada juga yang mengatakan ‘gantung Abu Rizal Bakri”gantung” “gantung”’
Bagaimana tidak ide-ide orator itu semakin menyalakan api persengketaan, menambah beban yang bertubi-tubi. Secara psikologis, aparat negara juga manusia biasa, betapa tidak!!bencana-bencana yang datang silih berganti membuat mereka bingung tidak karuan.
Mana ada di dunia ini seseorang berhadapan dengan berbagai peristiwa yang sedemikian dahsyatnya duduk tenang, ongkang-ongkang, selain mencari jalan keluar, apalagi presiden dengan segudang tanggung jawabnya.
Bukan berarti mengatakan ide-ide orator hanya semata omongan berisik, tidak!!! Aku tidak bertujuan mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Tapi kalau pribadi memaknainya sederhana saja, musibah yang melanda Indonesia memang sangat dahsyat, mulai dari peristiwa Tsunami, jatuhnya pesawat Adam Air, tenggelamnya KM Senopati dan masih banyak lagi, yang tidak hanya memerlukan pertimbangan logika dalam menyelesaikannya, tapi kita sebagai manusia yang berkeyakinan tidak menafikan kapan Tuhan bermain dalam kehidupan ini. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang sengaja Allah perlihatkan kepada manusia, bahwa dengan keserakahan dan kesombongannya tak cukup untuk mengatasi setiap yang terjadi dalam hidup ini.
Hendaknya kita jangan terjebak, oleh sebuah persoalan yang semakin menyibukkan kita mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, atau mungkin kerepotan menyoalkan aspek moral dari singgasana kebenaran.
Allah memberikan musibah besar untuk Indonesia bukan untuk tujuan tersebut, yang semakin dipolitisir dan syarat dengan kepentingan sepihak. Tidak!!
Dan kesibukan-kesibukan tersebut, membuat diri ini terlena dan terlupa untuk menarik banyaknya pelajaran dari kejadian tersebut.
Hendaknya bencana tersebut menjadi bahan koreksi bersama kita sebagai masyarakat Indonesia , untuk Indonesia yang lebih baik di kemudian hari.
‘Mulailah koreksi dari diri sendiri, dari yang terkecil dan sekarang juga’, penuh keyakinan setelah bencana berlalu, saat dimana masyarakat Indonesia berada pada masa keemasannya.
Sesampainya di depan Istana Negara, polisi sudah siap berjejer dari ujung ke ujung, guna mengamankan bila terjadi hal-hal yang mampu merusak citra kepresidenan, lengkap dengan mobil tahanan. Di situlah para orator bergantian menyampaikan aspirasinya, perwakilan dari setiap fakultas sebagai wujud aksi solidaritas korban Lumpur Lapindo Sidoarjo yang ngecamp di Jakarta.
Aku sendiri tidak tahu, apa yang membuat diriku sebegitu nekatnya meninggalkan waktu kuliah, demi aksi yang aku sendiri kurang tahu dampak signifikannya buat masyarakat yang menjadi korban Lumpur Lapindo, dan peran yang aku lakonkan dalam aksi tersebut. Jujur sebenarnya nurani ini menolak dan setengah hati namun aku percaya ada hikmah dibalik ketidakmengertian tersebut, makanya aku terus mengirama, bersama-sama menyanyikan lagu Indonesia Raya teruntuk Indonesia.
Dengan membawa bendera kebesaran PMII, aku berada di barisan paling depan meski hati ini menangis mendengar teriakan para orator dengan berbagai ide-idenya yang mengatasnamakan agent of social changes, penyalur aspirasi rakyat.
“lihat saja kawan-kawan, saudara kita kehilangan tempat tinggal, pekerjaan, dan semua yang dimiliki musnah, sementara SBY-JK enak-enakan duduk di atas kursi jabatan, tanpa empati sedikitpun terhadap korban bencana” begitulah orasinya, dengan rasa bangga atas julukan aktivis kampus dan pahlawan sejati bagi negeri.
Ada juga yang mengatakan ‘gantung Abu Rizal Bakri”gantung” “gantung”’
Bagaimana tidak ide-ide orator itu semakin menyalakan api persengketaan, menambah beban yang bertubi-tubi. Secara psikologis, aparat negara juga manusia biasa, betapa tidak!!bencana-bencana yang datang silih berganti membuat mereka bingung tidak karuan.
Mana ada di dunia ini seseorang berhadapan dengan berbagai peristiwa yang sedemikian dahsyatnya duduk tenang, ongkang-ongkang, selain mencari jalan keluar, apalagi presiden dengan segudang tanggung jawabnya.
Bukan berarti mengatakan ide-ide orator hanya semata omongan berisik, tidak!!! Aku tidak bertujuan mencari siapa yang salah, siapa yang benar. Tapi kalau pribadi memaknainya sederhana saja, musibah yang melanda Indonesia memang sangat dahsyat, mulai dari peristiwa Tsunami, jatuhnya pesawat Adam Air, tenggelamnya KM Senopati dan masih banyak lagi, yang tidak hanya memerlukan pertimbangan logika dalam menyelesaikannya, tapi kita sebagai manusia yang berkeyakinan tidak menafikan kapan Tuhan bermain dalam kehidupan ini. Ada peristiwa-peristiwa tertentu yang sengaja Allah perlihatkan kepada manusia, bahwa dengan keserakahan dan kesombongannya tak cukup untuk mengatasi setiap yang terjadi dalam hidup ini.
Hendaknya kita jangan terjebak, oleh sebuah persoalan yang semakin menyibukkan kita mencari siapa yang salah atau siapa yang benar, atau mungkin kerepotan menyoalkan aspek moral dari singgasana kebenaran.
Allah memberikan musibah besar untuk Indonesia bukan untuk tujuan tersebut, yang semakin dipolitisir dan syarat dengan kepentingan sepihak. Tidak!!
Dan kesibukan-kesibukan tersebut, membuat diri ini terlena dan terlupa untuk menarik banyaknya pelajaran dari kejadian tersebut.
Hendaknya bencana tersebut menjadi bahan koreksi bersama kita sebagai masyarakat Indonesia , untuk Indonesia yang lebih baik di kemudian hari.
‘Mulailah koreksi dari diri sendiri, dari yang terkecil dan sekarang juga’, penuh keyakinan setelah bencana berlalu, saat dimana masyarakat Indonesia berada pada masa keemasannya.
Kapan?
Pelataran Istana Negara,
Dan akupun tetap dengan kebodohanku sebagai mahasiswa
Dan akupun tetap dengan kebodohanku sebagai mahasiswa



1 komentar:
Yoi.....
Posting Komentar