Entah sejak kapan kegelisahan yang sangat mendera menyapa diriku, aku tiada pernah mengerti. Semakin aku mengerti, kegelisahan semakin menjadi-jadi. Seperti keyakinanku terbantai dan paradigma berfikirku terkoyak. Seolah-olah aku melakukan ibadah hanya menggugurkan kewajibanku sedang implikasi dari semuanya, spiritualitasku sepertinya hampa dan terus bertanya. “Kemanakah segala perlawanan bermuara?”
Saat ini, aku seperti berada di antara kenyataan-kenyataan dimana aku tidak mampu mengerahkan diriku, menguasai keterasinganku. Aku gelisah, risau setelah sekian lama keegoanku menopenginya dan semangat yang terlihat hanyalah baju kurung sementara. Selama ini, aku selalu mampu menguasai kekecewaan yang seringkali menyapaku, kemudian aku pendam dalam-dalam. Selama aku menjadi bagian dari komunitas akademik, sekalipun aku tidak pernah jatuh dari target-target hidupku.
Target hidup untuk selalu menjadi yang terbaik diantara teman-temanku di atas panggung prestasi akademik. Aku selalu ingin menjadi yang terdepan, aku tidak pernah membiasakan diriku ditempatkan oleh situasi dan kondisi kecuali dalam urutan nomor satu. Indeks Prestasi akademikku harus cumlaude, jika ada salah satu dosen saja yang memberiku nilai selain dengan prestasi ”A” sepontan bergejolaklah pikiranku, lantas aku berusaha melakukan berbagai cara supaya nilai tersebut harus menjadi ”A”. Bila dosen tersebut tidak bisa dinego dengan kata-kata, maka jalan satu-satunya aku harus menempuh semester pendek dan aku akan mengajukan permintaan kepada ketua jurusan supaya mata kuliah tersebut tidak lagi diamanatkan sama dosen serupa. Aku selalu mencari-cari cara dan aku selalu melakukan berbagai hal yang mengharuskan aku mendapatkan prestasi tersebut dan memenuhi target-target kehidupanku, karena aku teramat yakin, aku tidak akan kuat mendengar pengumuman wisudawan terbaik jika disana bukan namaku yang disebutkan. Makanya aku selalu berusaha mati-matian demi ambisi tersebut.
Siapakah diantara kalian semua, wahai sahabatku! yang pernah bertanya, ada apa dibalik semangat yang tertahan?
Sekali saja diantara kalian bertanya, bagiku adalah sarana mengungkapkan keterpenjaraan bagi kegelisahan lalu kemudian membebaskannya. Bahwa semua itu hanyalah airmata yang telah membeku, dan semakin mengeras tatkala ego hadir dan mencoba menyembunyikan semua. Karena aku tidak ingin diantara kalian tahu bahwa akulah seseorang yang paling menderita oleh sebab ambisi yang tertahan, dan segala upaya aku lakukan demi menjaga imageku di antara kalian semua.
Wahai sahabat-sahabatku, dengarlah getar hatiku yang seringkali hampa dan juga merana di balik jubah ego dan ambisi yang tertahan. Seringkali kalian menyaksikan betapa hebatnya aku berpidato di depan kalian semua. Betapa hebatnya aku selalu menduduki urutan pertama dalam prestasi akademik dan aku selalu berambisi dan sekalipun tiada akan pernah memberi kesempatan bagi orang lain untuk menggantikan posisi tersebut. Betapapun kehebatan yang seringkali dosen apresiasikan terhadap prestasiku.
Wahai sahabatku!
Coba sadarilah betapa tersikasanya aku untuk menjadi seperti itu, betapa naluri ini, selalu aku gadaikan. Seringkali aku merasa iri bahkan minder melihat kebahagiaan kalian yang setiap saat bisa tertawa dengan riangnya, menjalani hidup yang serba sederhana namun kebahagiaan sepertinya tiada pernah luntur dari menit-menit kalian. Betapa sebenarnya aku teramat kagum dengan diri kalian yang bisa tegar menyaksikan kesuksesanku meraih prestasi akademikku dan kalian mampu memberikan ucapan selamat atas kesuksesan tersebut dengan ucapan yang teramat tulus.
Kini aku menyadari egoku telah bertemu dan bersentuhan dengan titik jenuh dan membosankan. Ego yang selalu menutupi kegelisahanku dan merias mukaku seolah-olah seperti raut tak berdosa dengan segala ambisi yang tertahan. Kini egoku telah menemukan sisi lemah dalam hidupku, menjatuhkanku dan membuat aku tak berarti dengan segala apa yang aku perjuangkan selama ini.
Benar! Aku butuh seseorang yang membantuku menumpahkan airmata yang membeku, butuh seseorang mengajariku bersujud mengkomunikasikan segala getar yang tertahan. Aku membutuhkan seseorang untuk membebaskan bagi segala macam kegagalan ynang selama ini tertahan dalam ambisi, aku butuh seseorang yang mampu mengajariku memberi satu makna bahwa kegagalan bukan akhir dari segala perjuangan. Tuhan! Tolong ajariku dan tempatkanku dalam satu nuansa dimana aku mampu memaknai kegagalan sebagai ruang kontemplatif.
Aku jenuh Tuhan! Aku jenuh! aku tidak mampu memberikan definisi apa-apa tentang dunia, aku kalut hampa dan ingin menangis Hari-hariku selalu diperkosa oleh pemikiran-pemikiran aneh yaitu pernyataan tabu bila aku padukan dengan tata bahasa yang telah terkonsep sedemikian rupa. Aku jenuh sebab segala perjuanganku selama ini dalam rangka memenuhi pikiran pada saat itulah justru aku tidak mendapatkan apa-apa, pujian dari orang lain itu seringkali menyemangati hidupku, namun secepat itupula berubah menjadi kesunyian; kehampaan; tidak mendapatkan apa-apa dari hidup. Aku mendapatkan segala hal yang mampu aku tempuh bersama ambisiku, namun akhirnya aku menyadari ada kebutuhan-kebutuhan dalam hidup yang aku tekan sedemikian rupa demi memperjuangkan semuanya. Sekali waktu aku butuh untuk gagal dari target-target ambisiku, aku butuh kesunyian, aku butuh keterpenjaraan logika. Iya!! Aku memang butuh titik-titik tersebut, sehingga saat-saat tertentu dalam bagian alur kehidupanku menjadi saat yang paling nikmat untuk mengheningkan cipta, memadu cinta dengan diri sendiri dan untuk intropeksi diri merekontruksi kembali segala apa yang menjadi titik berat di kepala.
Mungkin aku bukanlah orang yang pertama kalinya menghadapi kehidupan yang teramat vakum setelah sekian lama berjuang mati-matian demi tuntutan akademik, namun hal serupa pernah dialami oleh pendahulu-pendahuluku yang jauh lebih dulu dari pada prestasi akademikku.
Rasanya baru kemaren aku merasa puas oleh sebab ambisiku, bahwa aku dinyatakan sebagai wisudawan terbaik. Betapa aku bahagia dan kabar gembira tersebut disaksikan ratusan wisudawan/wisudawati lainnya, disaksikan kedua orang tuaku. Rasanya baru saja kemaren perasaan bahagia itu menjadi milik ambisiku seutuhnya.
to be continw..........
Saat ini, aku seperti berada di antara kenyataan-kenyataan dimana aku tidak mampu mengerahkan diriku, menguasai keterasinganku. Aku gelisah, risau setelah sekian lama keegoanku menopenginya dan semangat yang terlihat hanyalah baju kurung sementara. Selama ini, aku selalu mampu menguasai kekecewaan yang seringkali menyapaku, kemudian aku pendam dalam-dalam. Selama aku menjadi bagian dari komunitas akademik, sekalipun aku tidak pernah jatuh dari target-target hidupku.
Target hidup untuk selalu menjadi yang terbaik diantara teman-temanku di atas panggung prestasi akademik. Aku selalu ingin menjadi yang terdepan, aku tidak pernah membiasakan diriku ditempatkan oleh situasi dan kondisi kecuali dalam urutan nomor satu. Indeks Prestasi akademikku harus cumlaude, jika ada salah satu dosen saja yang memberiku nilai selain dengan prestasi ”A” sepontan bergejolaklah pikiranku, lantas aku berusaha melakukan berbagai cara supaya nilai tersebut harus menjadi ”A”. Bila dosen tersebut tidak bisa dinego dengan kata-kata, maka jalan satu-satunya aku harus menempuh semester pendek dan aku akan mengajukan permintaan kepada ketua jurusan supaya mata kuliah tersebut tidak lagi diamanatkan sama dosen serupa. Aku selalu mencari-cari cara dan aku selalu melakukan berbagai hal yang mengharuskan aku mendapatkan prestasi tersebut dan memenuhi target-target kehidupanku, karena aku teramat yakin, aku tidak akan kuat mendengar pengumuman wisudawan terbaik jika disana bukan namaku yang disebutkan. Makanya aku selalu berusaha mati-matian demi ambisi tersebut.
Siapakah diantara kalian semua, wahai sahabatku! yang pernah bertanya, ada apa dibalik semangat yang tertahan?
Sekali saja diantara kalian bertanya, bagiku adalah sarana mengungkapkan keterpenjaraan bagi kegelisahan lalu kemudian membebaskannya. Bahwa semua itu hanyalah airmata yang telah membeku, dan semakin mengeras tatkala ego hadir dan mencoba menyembunyikan semua. Karena aku tidak ingin diantara kalian tahu bahwa akulah seseorang yang paling menderita oleh sebab ambisi yang tertahan, dan segala upaya aku lakukan demi menjaga imageku di antara kalian semua.
Wahai sahabat-sahabatku, dengarlah getar hatiku yang seringkali hampa dan juga merana di balik jubah ego dan ambisi yang tertahan. Seringkali kalian menyaksikan betapa hebatnya aku berpidato di depan kalian semua. Betapa hebatnya aku selalu menduduki urutan pertama dalam prestasi akademik dan aku selalu berambisi dan sekalipun tiada akan pernah memberi kesempatan bagi orang lain untuk menggantikan posisi tersebut. Betapapun kehebatan yang seringkali dosen apresiasikan terhadap prestasiku.
Wahai sahabatku!
Coba sadarilah betapa tersikasanya aku untuk menjadi seperti itu, betapa naluri ini, selalu aku gadaikan. Seringkali aku merasa iri bahkan minder melihat kebahagiaan kalian yang setiap saat bisa tertawa dengan riangnya, menjalani hidup yang serba sederhana namun kebahagiaan sepertinya tiada pernah luntur dari menit-menit kalian. Betapa sebenarnya aku teramat kagum dengan diri kalian yang bisa tegar menyaksikan kesuksesanku meraih prestasi akademikku dan kalian mampu memberikan ucapan selamat atas kesuksesan tersebut dengan ucapan yang teramat tulus.
Kini aku menyadari egoku telah bertemu dan bersentuhan dengan titik jenuh dan membosankan. Ego yang selalu menutupi kegelisahanku dan merias mukaku seolah-olah seperti raut tak berdosa dengan segala ambisi yang tertahan. Kini egoku telah menemukan sisi lemah dalam hidupku, menjatuhkanku dan membuat aku tak berarti dengan segala apa yang aku perjuangkan selama ini.
Benar! Aku butuh seseorang yang membantuku menumpahkan airmata yang membeku, butuh seseorang mengajariku bersujud mengkomunikasikan segala getar yang tertahan. Aku membutuhkan seseorang untuk membebaskan bagi segala macam kegagalan ynang selama ini tertahan dalam ambisi, aku butuh seseorang yang mampu mengajariku memberi satu makna bahwa kegagalan bukan akhir dari segala perjuangan. Tuhan! Tolong ajariku dan tempatkanku dalam satu nuansa dimana aku mampu memaknai kegagalan sebagai ruang kontemplatif.
Aku jenuh Tuhan! Aku jenuh! aku tidak mampu memberikan definisi apa-apa tentang dunia, aku kalut hampa dan ingin menangis Hari-hariku selalu diperkosa oleh pemikiran-pemikiran aneh yaitu pernyataan tabu bila aku padukan dengan tata bahasa yang telah terkonsep sedemikian rupa. Aku jenuh sebab segala perjuanganku selama ini dalam rangka memenuhi pikiran pada saat itulah justru aku tidak mendapatkan apa-apa, pujian dari orang lain itu seringkali menyemangati hidupku, namun secepat itupula berubah menjadi kesunyian; kehampaan; tidak mendapatkan apa-apa dari hidup. Aku mendapatkan segala hal yang mampu aku tempuh bersama ambisiku, namun akhirnya aku menyadari ada kebutuhan-kebutuhan dalam hidup yang aku tekan sedemikian rupa demi memperjuangkan semuanya. Sekali waktu aku butuh untuk gagal dari target-target ambisiku, aku butuh kesunyian, aku butuh keterpenjaraan logika. Iya!! Aku memang butuh titik-titik tersebut, sehingga saat-saat tertentu dalam bagian alur kehidupanku menjadi saat yang paling nikmat untuk mengheningkan cipta, memadu cinta dengan diri sendiri dan untuk intropeksi diri merekontruksi kembali segala apa yang menjadi titik berat di kepala.
Mungkin aku bukanlah orang yang pertama kalinya menghadapi kehidupan yang teramat vakum setelah sekian lama berjuang mati-matian demi tuntutan akademik, namun hal serupa pernah dialami oleh pendahulu-pendahuluku yang jauh lebih dulu dari pada prestasi akademikku.
Rasanya baru kemaren aku merasa puas oleh sebab ambisiku, bahwa aku dinyatakan sebagai wisudawan terbaik. Betapa aku bahagia dan kabar gembira tersebut disaksikan ratusan wisudawan/wisudawati lainnya, disaksikan kedua orang tuaku. Rasanya baru saja kemaren perasaan bahagia itu menjadi milik ambisiku seutuhnya.
to be continw..........



0 komentar:
Posting Komentar